![]() |
| Jenlap Legara (Pegiat Literasi & Filsafat Islam). |
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menghadapi krisis ekologis yang semakin akut. Hutan tropis menyusut dalam kecepatan yang mengkhawatirkan, pencemaran air menjadi fenomena nasional, polusi udara meningkat dalam hitungan tahun, dan bencana ekologis seperti banjir, longsor, serta kekeringan terjadi hampir rutin.
Namun alih-alih memperkuat perlindungan lingkungan, negara justru terperangkap dalam logika pembangunan yang dikendalikan oleh kepentingan kapital. Dalam konteks ini, hukum tidak hanya gagal menjadi instrumen perlindungan, tetapi bahkan berubah menjadi alat legitimasi bagi dominasi elite ekonomi yang memanfaatkan sumber daya alam demi akumulasi keuntungan.
Kita hidup di era yang dapat disebut sebagai dekade krisis ekologi, suatu fase sejarah ketika kerusakan lingkungan tidak lagi menjadi dampak sampingan pembangunan, tetapi menjadi konsekuensi sistemik dari model ekonomi-politik yang bertumpu pada eksploitasi. Di balik itu semua tampak jelas bagaimana elit kapital memainkan peran sentral dalam mendefinisikan arah hukum lingkungan, mengatur ulang tata kelola sumber daya alam, dan menentukan siapa yang berhak menikmati atau menanggung akibat dari kebijakan publik.
Hukum yang Didesain untuk Mengakomodasi, bukan Mengontrol
Dalam teori hukum, regulasi seharusnya berfungsi membatasi perilaku aktor ekonomi dan memastikan bahwa kepentingan publik menjadi dasar pengambilan keputusan. Namun dalam praktik, banyak kebijakan strategis terkait sumber daya alam justru menunjukkan asimetrisasi kekuasaan di mana kepentingan kapital ditempatkan di atas kepentingan ekologis dan sosial.
Simplifikasi izin lingkungan, sentralisasi perizinan, perubahan standar AMDAL, pelemahan ruang partisipasi publik, hingga penyesuaian tata ruang untuk proyek besar semuanya menyuratkan bahwa hukum tengah bergerak mengikuti alur permintaan pasar, bukan kebutuhan konservasi.
Regulasi berubah menjadi instrumen administrasi untuk mempercepat investasi, bukan lagi mekanisme pencegahan kerusakan lingkungan. Ini menandakan bahwa hukum telah melokalisasi posisinya: bukan sebagai wasit, melainkan sebagai jembatan kepentingan elite.
Legitimasi Hukum sebagai Produk Dominasi Elit Kapital
Dominasi elite kapital dalam ranah hukum bukan terjadi sekali-dua kali. Ia merupakan konsekuensi dari kedekatan antara pengusaha besar dan pengambil kebijakan, biaya politik yang tinggi sehingga politisi bergantung pada modal korporasi, struktur birokrasi yang membuka ruang barter kebijakan, lemahnya kontrol publik dan partisipasi masyarakat, serta penetrasi kepentingan korporasi dalam lembaga negara.
Dalam situasi seperti ini, hukum kehilangan sifat netralnya. Ia menjadi hasil dari negosiasi politik yang sering menguntungkan mereka yang memiliki modal. Kepentingan elite kemudian dilegitimasi melalui prosedur hukum formal: RUU dibahas, peraturan dibuat, izin dikeluarkan, kajian lingkungan disesuaikan. Semua tampak legal, tetapi secara substantif merugikan lingkungan dan masyarakat.
Inilah yang disebut banyak pengamat sebagai legitimasi hukum atas kerusakan, ketika kerangka regulasi tidak hanya membolehkan eksploitasi, tetapi turut mengamankannya dari potensi perlawanan.
Ketika Politik dan Hukum di Monopoli dan Tunduk Pada Oligarki
Salah satu konsepsi yg pernah dicetuskan oleh sosialis Jerman Ferdinand Lassalle bahwa bagaimana model negara liberal-borjuis hari ini hanya bagaikan penjaga di malam hari (night watchman States) tak lain, bertugas mencegah pencuri dan perampok kriminal kecil namun tidak dengan kriminal besar (mafia elit politik dan hukum) sebab negara telah menjadi aktor dan tunduk untuk melayani kepentingan para pemilik modal.
Bagaimana krisis ekologi yang dihasilkan oleh keputusan politik dan legitimasi hukum hari ini menimbulkan dampak bencana dan disparitas sosial. Semua bukan semata-mata kesalahan teknis dan hukum alam melainkan telah didesain sedemikian rupa bagian dari produk keputusan dan kebijakan politik.
Kebijakan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi berbasis ekstraktivisme otomatis menaikkan risiko bencana ekologis.
Pada dekade ini, kita menyaksikan bagaimana praktik ekspansi industri sawit dan tambang ke wilayah hutan primer, alih fungsi lahan besar-besaran demi proyek infrastruktur, penurunan kualitas air sungai akibat limbah industri, bencana asap yang berulang akibat pembukaan lahan, krisis pesisir dan kerusakan ekosistem laut karena reklamasi. Semua ini tidak terjadi di ruang hampa, ada struktur kekuasaan yang memungkinkan eksploitasi tersebut terjadi.
Di sanalah peran elite kapital menjadi krusial: mereka tidak hanya memiliki modal untuk membuka lahan, tetapi juga modal politik untuk “mengamankan” aktivitas tersebut dari risiko hukum.
Dengan demikian, sesuatu yang tak terelakkan bagaimana masyarakat lokal membayar atas segala dampak kesewenang-wenangan praktik para pemilik modal. Sebab yg paling menderita dari dominasi elite atas hukum lingkungan adalah masyarakat yang hidup di sekitar wilayah eksploitasi. Mereka adalah, petani yang kehilangan lahan, masyarakat adat yang kehilangan hutan, nelayan yang kehilangan daerah tangkapan, masyarakat miskin kota yang menghirup udara beracun, perempuan dan anak yang menanggung beban kesehatan akibat polusi.
Ketika wilayah hutan dialihkan untuk konsesi, yang tersingkir adalah komunitas adat. Ketika air sungai tercemar, yang merasakan adalah warga yang bergantung pada sumber air itu. Ketika udara dipenuhi partikel polutan, yang sakit adalah penduduk kota padat, bukan elite yang tinggal di kawasan tertutup.
Dengan demikian, krisis ekologi adalah juga krisis keadilan sosial. Dan hukum yang gagal melindungi lingkungan otomatis gagal pula melindungi manusia yang hidup dari dan bersama lingkungan.
Penegakan Hukum yg Selektif dan Tumpul ke Atas
Salah satu ironi terbesar dari hukum lingkungan Indonesia adalah ketimpangan dalam penegakan. Ketika masyarakat kecil membuka lahan secara tradisional, mereka dengan mudah dijerat pidana. Namun ketika perusahaan besar merusak hutan ribuan hektar, sanksinya sering hanya administratif atau bahkan nyaris tidak tersentuh sama sekali. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan, keberpihakan aparat, dan impunitas bagi pelaku besar.
Penegakan hukum yang selektif mempertegas bahwa hukum beroperasi dalam kerangka kekuasaan, bukan keadilan. Bagi elite kapital, hukum adalah tameng; bagi masyarakat kecil, hukum menjadi ancaman.
Saatnya Mengakhiri Dekade Kelam Ekologi
Jika dominasi elite kapital terus dibiarkan menguasai arah kebijakan lingkungan, masa depan ekologi Indonesia berada dalam ancaman serius. Dibutuhkan perubahan struktural, bukan hanya kosmetik administratif.
Kendati demikian, salah satu langkah strategis yang perlu diambil dalam kesadaran penuh bagaimana harus dapat terciptanya Demokratisasi legislasi lingkungan, agar publik dapat mengontrol pembentukan kebijakan, keterbukaan data dan transparansi penuh dalam perizinan dan tata kelola sumber daya alam, penguatan partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan wilayah hidup mereka, penegakan hukum yang tegas, independen, dan tidak selektif, terutama terhadap korporasi besar, transformasi paradigma pembangunan, dari logika eksploitasi ke logika keberlanjutan ekologis.
Dekade krisis ekologi bukan sekadar akibat dari ketidakmampuan negara mengelola lingkungan, tetapi refleksi dari bagaimana hukum dikooptasi oleh kepentingan elite kapital. Selama struktur kekuasaan tidak berubah, selama hukum tetap berada di bawah bayang-bayang modal, dan selama ekologi hanya dipandang sebagai komoditas, maka kerusakan lingkungan akan terus berlanjut.
