Luka di Mata, Luka di Sistem; Kekerasan Antar Siswa di SMP Negeri 1 Dompu

Oleh : Bung Farid
Sekjend DPC GMNI Dompu

Sebuah insiden pada Senin, 28 Juli di Dompu seharusnya menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Saling lempar batu antar siswa SMP Negeri 1 Dompu berujung pada korban yang sama sekali bukan bagian dari konflik. Seorang pengendara motor yang sedang melintas di depan SMA 2 Dompu. Batu yang melesat itu menghantam mata korban, memaksanya dilarikan ke RSUD Dompu. Dari titik itu, luka fisik bukanlah satu-satunya masalah. Luka pada sistem penanganan konflik di sekolah juga terbuka lebar.

Keluarga korban melaporkan kejadian ke sekolah pada Rabu, 30 Juli. Namun, pihak sekolah baru memfasilitasi pertemuan dengan orang tua pelaku pada Senin, 4 Agustus hampir sepekan setelah kejadian. Dalam dunia yang menuntut kecepatan penanganan kasus kekerasan, jeda waktu seperti ini bukan hanya kelalaian administratif, tetapi juga bentuk pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan penanganan cepat.

Permendikbud No. 82 Tahun 2015 jelas menyebutkan bahwa satuan pendidikan wajib segera menindaklanjuti setiap dugaan kekerasan dengan langkah pencegahan dan perlindungan. Di sini, “segera” berarti hitungan jam, bukan hari.

Pada Jumat, 8 Agustus, korban dijadwalkan menjalani pemeriksaan di Poli Mata. Keluarga korban meminta agar orang tua pelaku hadir, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan empati. Namun, ketika dihubungi melalui pihak sekolah, nomor telepon orang tua pelaku tidak aktif. Ketidakhadiran ini bukan sekadar masalah teknis komunikasi. Ia mencerminkan retaknya komitmen untuk menyelesaikan masalah secara restorative.

Restorative justice bukanlah sekadar duduk bersama dan meminta maaf. Ia menuntut keterlibatan aktif pelaku dan keluarganya hingga korban benar-benar pulih. Ketidakhadiran dalam momen penting pemeriksaan medis adalah kegagalan moral yang mencolok.

Karena hambatan komunikasi dan lambannya respons, keluarga korban akhirnya membawa kasus ini ke ranah hukum. Pelaporan ke kepolisian disertai pembuatan Visum et Repertum adalah langkah logis sekaligus sah secara hukum. Luka di mata korban adalah bukti nyata bahwa insiden ini tidak bisa diredam hanya dengan “maaf” dan pertemuan singkat.

Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan yang menyebabkan luka dapat dijerat pasal penganiayaan. Sementara dari sisi perdata, orang tua pelaku sebagai penanggung jawab anak dapat diminta membayar ganti rugi. Kasus ini bisa menjadi preseden penting bagi penegakan akuntabilitas dalam kekerasan yang melibatkan anak di bawah umur.

Insiden ini menegaskan bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga arena pembentukan karakter. Ketika karakter gagal dibentuk, yang melayang bukan sekadar batu, tetapi juga wibawa pendidikan.

Sekolah harus memiliki prosedur respons cepat, sistem komunikasi darurat dengan orang tua, serta mekanisme perlindungan korban yang jelas. Guru dan kepala sekolah perlu dilatih bukan hanya mengajar, tetapi juga mengelola konflik dan krisis.

Kekerasan antar siswa memang bukan fenomena baru. Namun, ketika korban adalah masyarakat umum yang tak terlibat, ini menjadi peringatan keras bahwa masalah ini telah menembus dinding sekolah. Dan ketika penanganannya lambat serta komunikasi terputus, luka di mata korban menjadi simbol dari kebutaan kita melihat urgensi perubahan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak