Oleh : Irawan B.
Tulisan ini merupakan hasil refleksi personal terhadap maraknya fenomena "virus merah jambu" yang menjangkiti sebagian kader IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), serta penilaian terhadap anggapan bahwa keberadaan kekasih dapat menjadi motivator dalam proses kaderisasi dan pergerakan.
IMM sebagai organisasi otonom Muhammadiyah memiliki mandat keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan, dengan tujuan ideal: "Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia demi terwujudnya tujuan Muhammadiyah." Maka seharusnya, seluruh aktivitas kader IMM senantiasa selaras dengan nilai-nilai luhur tersebut. Namun realitas di lapangan menunjukkan adanya deviasi perilaku, salah satunya adalah aktivitas pacaran di luar ikatan pernikahan.
Fenomena pacaran bukan sekadar persoalan pribadi atau emosional, melainkan telah menjadi budaya baru yang secara perlahan diterima sebagai hal wajar, bahkan normal, oleh masyarakat—termasuk oleh sebagian kader IMM. Padahal, secara normatif, Muhammadiyah secara tegas menolak praktik pacaran, berdasarkan prinsip syariat Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 32:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk."
Dengan demikian, pacaran tidak hanya menyalahi norma moral dan agama, tetapi juga mengganggu fokus kader dalam menjalankan amanah organisasi.
Dalam konteks perkaderan, pacaran merupakan bentuk distraksi serius yang dapat mengganggu kualitas intelektual dan spiritual kader. Aktivitas tersebut menyita waktu, energi, dan atensi, sehingga semangat untuk berdiskusi, menulis, bergerak, serta membangun kapasitas intelektual dan sosial yang semestinya menjadi ciri khas kader IMM menjadi redup dan tergantikan oleh romantisme yang bersifat sementara.
Fenomena ini tidak dapat diremehkan. Ketika kader lebih sibuk merawat hubungan asmara ketimbang membina hubungan ideologis dengan cita-cita IMM, maka pacaran bukan lagi "motivator", melainkan parasit produktivitas. Ia hadir sebagai penghasil dopamin instan, yang memperdaya kesadaran, menciptakan ilusi kenyamanan, dan menurunkan komitmen terhadap proses pembinaan diri dan organisasi.
Aktivitas pacaran yang tidak produktif akan berdampak langsung terhadap kinerja kader dan kualitas gerakan IMM. Ketika forum-forum kaderisasi seperti Darul Arqam, Sekolah Ideologi, atau ruang-ruang literasi ditinggalkan atau hanya diikuti secara formalitas, maka yang tersisa hanyalah nama dan atribut tanpa esensi perjuangan.
Akibatnya, IMM terancam kehilangan ruh gerakannya sebagai organisasi kader. Lebih buruk lagi, jika perilaku kader yang terjebak dalam hubungan asmara tidak sehat kemudian mencoreng nama baik IMM di mata publik, maka bukan tidak mungkin muncul stigma seperti "IMM rusak karena kadernya sendiri." Padahal, sejatinya IMM adalah ruang pembinaan intelektual dan moral. Setiap kader seharusnya menjadi representasi nilai, bukan justru mencederainya.
Kita, para IMMawan dan IMMawati, adalah wajah dan wibawa IMM. Jangan biarkan virus merah jambu menodai marwah perjuangan kita. Pacaran bukan jalan menuju kemuliaan, apalagi menjadi alasan abai terhadap amanah organisasi.
Kita bukan anti cinta. Namun cinta sejati bukan yang melemahkan, melainkan yang menguatkan. Maka apabila cinta hadir, biarlah ia lahir dari proses yang syar'i dan bermakna. Karena cinta yang benar tidak akan menjauhkan kita dari jalan kebaikan, melainkan justru menuntun kita menuju kematangan spiritual dan ideologis.
IMM bukan ruang pelampiasan emosi, tetapi medan tempur perjuangan nilai. Maka tugas kita sebagai kader adalah menjaga arah, merawat ruh perjuangan, dan membangun kesadaran bahwa waktu dan tenaga kita lebih layak dipersembahkan untuk kemajuan diri, umat, dan persyarikatan.
"Pacar bukan motivator. Jika ia menjauhkanmu dari nilai, ia adalah penghambat." (BM)