| Ilustrasi by : @siifara Oleh : Ririn Fahrani |
Ada masa dalam hidup ketika dunia tak lagi berputar mengikuti kehendak kita. Waktu seperti membeku di sudut rumah yang sepi, di mana bau minyak kayu putih, suara napas tersengal, dan isak yang ditahan menjadi lagu sehari-hari. Di sanalah aku berada di samping perempuan yang dulu mengandungku, yang senantiasa menyebut namaku dalam doa, membesarkanku dalam peluh, dan kini terbaring tak berdaya, digerogoti sakit yang merampas langkah, bicara, bahkan senyumnya.
Aku adalah anak perempuan biasa. Seorang perawi mimpi yang baru saja menyambut surat penerimaan dari universitas yang lama kupeluk dalam angan. Dunia seolah membuka pintunya lebar-lebar, mengundangku menari di panggung masa depan. Namun, saat mimpi baru hendak kutapaki, kehidupan menaruh separuh jiwaku di ambang kejatuhan. Ibu ku jatuh, mana mungkin aku melangkah?
Memilih tinggal. Di tengah hiruk-pikuk teman-temanku yang mulai membangun hidup, aku diam di rumah. Menjadi perawat, pelayan, sahabat sunyi, dan kadang pelampiasan amarah dari seorang ibu yang tak lagi mengenali tubuhnya sendiri. Hari-hariku tak lagi diisi buku-buku kuliah atau senja di taman kampus, melainkan mengganti kain, membersihkan luka, menyuapi bubur, menyeka air mata—baik milik ibu, maupun milikku sendiri.
Betapa getir rasanya melihat kawan sebaya menuliskan prestasi mereka di media sosial, sementara aku sibuk mencuci sprei berlumur kotoran. Namun di sela rasa iri yang sesekali menyeruak, aku temukan sebuah cahaya kecil yang tak bisa dijelaskan dengan logika dunia, cinta yang menajam dalam keikhlasan.
“Maaf ya, Nak… Mama sudah merepotkan kamu…”
Dengan nada lembut kalimat itu diucapkan dimalam yang penuh keheningan, saat langit menggantungkan bulan sendu di balik jendela kamar kami. Kalimat itu tak panjang, tapi cukup untuk meremukkan dinding-dinding sabar yang kubangun selama berbulan-bulan. Pelukan kami malam itu tak sekadar saling menguatkan, tapi menyembuhkan luka-luka yang tak terlihat.
Orang-orang bilang, masa muda adalah masa paling berharga dalam hidup. Tapi aku belajar, nilai hidup tak diukur dari seberapa jauh kita melangkah, melainkan seberapa dalam kita mencinta. Aku mungkin belum menjadi sarjana, belum punya pekerjaan, belum punya ruang untuk mengekspresikan semua cita-cita yang lama kupupuk. Tapi aku punya sesuatu yang mungkin tak dimiliki semua orang, kesempatan untuk berbakti sepenuh hati.
Aku tak ingin dunia mengingatku sebagai orang yang kuat. Tidak. Aku hanyalah anak yang memilih tinggal saat orang lain pergi. Aku hanyalah jiwa yang percaya bahwa ada kemuliaan dalam merawat ibu karena dari rahimnya, aku dilahirkan bukan hanya dengan tubuh, tapi juga dengan cinta yang tak pernah minta balas.
Mimpi boleh kutunda. Tapi baktiku tak bisa menunggu.
Dan jika suatu hari nanti aku melangkah kembali, dunia akan kulalui bukan dengan kebanggaan kosong, tapi dengan langkah yang telah ditempa oleh kasih, air mata, dan malam-malam panjang bersama ibu di ranjang sunyi itu. Di pangkuan beliau, aku menemukan makna sejati dari menjadi manusia. (BM)