Dompu di Usia 210 : Antara Mimpi, Momentum dan Tanda Tanya

Oleh : Hafi Darmawan
(Ketua IMM Dompu)


Dompu hari ini menapaki usia 210 tahun bukan angka sembarangan. Ia adalah usia yang menuntut kematangan visi, kedewasaan dalam bertindak, dan kebijaksanaan dalam merespons dinamika zaman. Di usia yang tak lagi muda, Dompu seharusnya menjadi teladan bagi daerah-daerah lain dalam tata kelola pemerintahan, dalam pelayanan publik, dan dalam membangun keadaban masyarakat. Namun, benarkah kita sudah sejauh itu?

Kepemimpinan baru di Dompu memberi angin segar dan harapan baru. Tapi mari kita jujur perubahan tidak akan pernah menjadi nyata jika hanya digantungkan pada satu figur. Ia hanya akan terwujud bila seluruh elemen pemerintah, masyarakat sipil, hingga akar rumput bergerak dalam satu irama, dalam semangat kolaborasi dan partisipasi aktif. Sebab sejarah baik dalam literatur klasik maupun dalam data pembangunan kontemporer telah membuktikan tak ada kemajuan yang lahir dari polarisasi, ujaran kebencian, apalagi politik adu domba.

Sayangnya, di tengah euforia usia ke-210, muncul tanda tanya besar ke mana arah Dompu hendak dibawa? Salah satu isu paling menyita perhatian adalah pembentukan Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D). Alih-alih menjadi solusi, kehadiran TP2D justru melahirkan kegaduhan publik. Dibentuk tanpa kejelasan regulasi, tanpa argumen kebutuhan yang terukur, dan minim transparansi, tim ini justru menuai kecurigaan. Kritik pun berdatangan, bukan karena masyarakat anti-pembangunan, tapi karena publik mulai lelah dengan kebijakan reaktif dan simbolik.

Jika memang TP2D bertujuan mempercepat pembangunan, maka fondasi yang harus ditegakkan pertama adalah akuntabilitas. Apa indikator kinerjanya? Bagaimana proses seleksi anggotanya? Dan sejauh mana dampaknya terhadap tata kelola yang efisien dan partisipatif? Tanpa jawaban konkret, publik berhak menyebutnya pemborosan struktural yang berpotensi mengganggu fungsi OPD yang sah secara birokrasi.

Lebih bijak kiranya, bila pemerintah memfokuskan perhatiannya pada penguatan internal, melakukan audit kinerja, menyempurnakan sistem reward and punishment, serta mengoptimalkan SDM yang ada, daripada menambah struktur baru yang justru menciptakan potensi konflik kewenangan.

Dalam konteks reformasi birokrasi, inspeksi mendadak dan absensi digital hanyalah permukaan. Yang esensial adalah membangun budaya kerja di mana kinerja dinilai objektif, pegawai berprestasi diberi insentif, dan mereka yang lalai diberi sanksi yang adil. Tanpa sistem meritokrasi, semangat reformasi akan kembali menjadi slogan kosong.

Hal yang juga mencuat adalah isu honorer. Keputusan untuk tidak memperpanjang masa kerja sejumlah honorer telah menyisakan luka sosial. Lebih ironis lagi ketika muncul istilah “honor siluman” yang tak hanya menyakitkan secara emosional, tapi juga merusak martabat para tenaga kerja yang selama ini diam-diam menopang kerja-kerja negara. Jika ada penyimpangan administratif, selesaikan melalui mekanisme hukum yang adil, bukan dengan menggusur yang lemah dan membiarkan yang kuat terus melenggang.

Program Jumat Bersih yang digagas Bupati patut diapresiasi sebagai simbol hadirnya pemimpin di tengah rakyat. Tapi mari kita perluas makna “bersih”. Tak cukup hanya pada selokan dan taman kota. Kebersihan etika, integritas birokrasi, dan kejujuran dalam pelayanan publik jauh lebih penting. Kota yang bersih adalah kota yang aparaturnya tak menyimpan agenda tersembunyi.

Penertiban pedagang kaki lima dari trotoar dan bahu jalan jika tak diiringi dengan keadilan implementatif dan solusi alternatif berisiko menjadi bentuk ketidakpekaan struktural. Penegakan hukum yang tebang pilih bukanlah wajah negara hukum, melainkan wajah negara semu. Masyarakat kecil, yang menggantungkan hidup dari lapak-lapak sederhana, butuh pendekatan humanistik, bukan hanya aparat yang membawa selebaran larangan.

Tak kalah krusial adalah persoalan air bersih. Hingga kini, distribusi air bersih masih menjadi mimpi sebagian warga. Alasan klasik seperti sedimentasi tak bisa lagi dijadikan pembenaran, apalagi ketika tak terlihat upaya riil untuk mengatasi sumber masalahnya. Rakyat butuh air, bukan narasi. Butuh solusi, bukan simpati.

Lalu, narkoba. Ancaman nyata yang tak mengenal usia, status, atau profesi. Tingginya angka penangkapan patut diapresiasi. Namun publik kecewa ketika pelaku dilepas dengan alasan “asesmen rehabilitasi”. Jika semua pengguna dan pengedar berakhir di ranjang rehabilitasi tanpa proses hukum yang tegas, maka bagaimana mungkin kita berharap pada efek jera?

Narkoba bukan sekadar persoalan individu. Ia adalah ancaman struktural yang merusak masa depan. Negara, dalam hal ini aparat penegak hukum, harus benar-benar hadir tidak hanya dalam razia, tapi juga dalam vonis. Tak ada toleransi untuk pengkhianat generasi.

Dompu yang maju, bersih, dan tertib adalah dambaan kita semua. Tapi cita-cita besar tidak bisa dibangun dari kebijakan yang melukai kelompok paling rentan. Kota yang hebat bukan hanya soal estetika dan infrastruktur. Ia adalah cerminan dari keadilan sosial yang nyata dari warung kopi di gang sempit, hingga meja-meja kerja di ruang bupati.

Pemerintahan baru bukan hanya mewarisi beban masa lalu, tapi memegang mandat masa depan. Jika ingin dikenang, maka beranilah membuat keputusan yang adil sekecil apa pun itu. Sebab sejarah tidak ditulis oleh mereka yang diam, tapi oleh mereka yang berani berkata benar, meski sunyi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak